Antara
Menulis dan Berbicara
Di
jaman yang serba modern seperti
sekarang, kata sastra memang tak asing lagi. Namun, tak asing bukan berarti
setiap pemuda saat ini akrab dengan sastra. Tak jarang kalangan pemuda sontak
mengerutkan jidat ketika mempelajari sastra dan diminta untuk memproduksi
sastra. Sastra selalu saja melekat dan tak dapat dipisahkan dari kata ‘sulit’
bagi mereka. Febi mahasiswa Unib yang mengambil program studi pendidikan bahasa
dan sastra Indonesiamisalnya. Ia mengaku bahwa sastra sangat sulit baginya,
sastra hanya membuat pusing kepala, menurutnya daripada menulis sastra jauh
lebih baik jika ia diminta menjadi orator. Pendapat Febi juga didukung oleh
Novita yang mengambil jurusan yang sama dengan Febi di Unib. Namun, Meydian
yang merupakan senior dari Febi dan Novi menganggap bahwa sastra itu mudah dan
menyenangkan. Tanggapan yang sangat berbeda. Meydian justru tidak menganggap
salah satu dari menulis dan membaca itu sulit.
Menulis
sastra berbeda dengan berbicara. Menulis setidaknya membutuhkan keterampilan
khusus yang harus dipelajari dan senantiasa dilatih. Sementara berbicara
mungkin hanya butuh pembiasaan saja. Indera yang dibutuhkan ketika belajar
berbicara terdiri dari mata, telinga, dan lidah. Mata untuk melihat gerakan
yang dilakukan orang yang akan kita contoh untuk bicara, terutama melihat
gerakan mulut dan mimik muka. Telinga untuk mendengar kata yang diucapkan, dan
lidah berusaha untuk mengikutinya dengan kata yang kita upayakan untuk
dikeluarkan. Itu sebabnya, anak kecil yang sehat dan normal (matanya dapat
melihat, telinganya dapat mendengar, dan lidahnya bisa digerakkan untuk
berkata) maka umumnya akan dengan mudah mengikuti. Itu memerlukan pembiasaan
sembari mengasah kemampuan dan reflek tiga indera tadi. Jadi, anak kecil yang
ingin belajar bicara tak memerlukan belajar huruf-huruf terlebih dahulu, tak
butuh juga dengan seabrek teori menulis, dan bagaimana merangkai kata yang
baik. Ia, akan dengan spontan mengikuti setiap huruf yang diucapkan orang lain
(entah ibunya, ayahnya, kakaknya, atau temannya dll). Mereka (termasuk kita)
bisa belajar bicara tanpa keterampilan..yang..rumit.…Mengalir..apa..adanya.
Sementara
menulis, memerlukan keterampilan tambahan. Bahkan motivasi tambahan pula.
Karena apa? Karena menulis bukan bakat, karena menulis memang sangat berbeda
dengan berbicara. Banyak orang bisa berbicara, bahkan fasih, meski ternyata ia
buta huruf. Sementara orang yang bisa menulis, sangat mustahil bila ia
penderita buta huruf. Mungkin ini pula yang membedakan kemampuan setiap orang
dalam menulis. Intinya, tidak semua orang bisa menulis, meski berbicaranya
sangat fasih dan bahkan retorikanya bagus. Meski bicaranya tidak bagus, tapi minimal ia memang
bisa bicara. Bisa berkomunikasi secara verbal (kata-kata)dengan..orang..lain..Benar..tidak?
Jadi
menurut saya, orang yang bisa menulis adalah orang yang seharusnya merasa
bahagia. Karena bisa melakukan keterampilan yang jarang dilakukan oleh orang
yang sehat dan normal lainnya. Umumnya, semua orang yang sehat dan normal bisa
berbicara, tapi tak semua dari mereka bisa menulis. Ini pun dikelompokkan jadi
dua: pertama, orang yang tidak bisa menulis sama sekali alias buta huruf; dan
kedua, orang yang tidak bisa menulis dalam pengertian menyampaikan pesan lewat
tulisan. Dari dua kelompok itu, mereka sama-sama bisa berbicara, tapi tidak
bisa menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar