Sabtu, 12 Mei 2012


Antara Menulis dan Berbicara
Di jaman yang serba modern seperti sekarang, kata sastra memang tak asing lagi. Namun, tak asing bukan berarti setiap pemuda saat ini akrab dengan sastra. Tak jarang kalangan pemuda sontak mengerutkan jidat ketika mempelajari sastra dan diminta untuk memproduksi sastra. Sastra selalu saja melekat dan tak dapat dipisahkan dari kata ‘sulit’ bagi mereka. Febi mahasiswa Unib yang mengambil program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesiamisalnya. Ia mengaku bahwa sastra sangat sulit baginya, sastra hanya membuat pusing kepala, menurutnya daripada menulis sastra jauh lebih baik jika ia diminta menjadi orator. Pendapat Febi juga didukung oleh Novita yang mengambil jurusan yang sama dengan Febi di Unib. Namun, Meydian yang merupakan senior dari Febi dan Novi menganggap bahwa sastra itu mudah dan menyenangkan. Tanggapan yang sangat berbeda. Meydian justru tidak menganggap salah satu dari menulis dan membaca itu sulit.

Menulis sastra berbeda dengan berbicara. Menulis setidaknya membutuhkan keterampilan khusus yang harus dipelajari dan senantiasa dilatih. Sementara berbicara mungkin hanya butuh pembiasaan saja. Indera yang dibutuhkan ketika belajar berbicara terdiri dari mata, telinga, dan lidah. Mata untuk melihat gerakan yang dilakukan orang yang akan kita contoh untuk bicara, terutama melihat gerakan mulut dan mimik muka. Telinga untuk mendengar kata yang diucapkan, dan lidah berusaha untuk mengikutinya dengan kata yang kita upayakan untuk dikeluarkan. Itu sebabnya, anak kecil yang sehat dan normal (matanya dapat melihat, telinganya dapat mendengar, dan lidahnya bisa digerakkan untuk berkata) maka umumnya akan dengan mudah mengikuti. Itu memerlukan pembiasaan sembari mengasah kemampuan dan reflek tiga indera tadi. Jadi, anak kecil yang ingin belajar bicara tak memerlukan belajar huruf-huruf terlebih dahulu, tak butuh juga dengan seabrek teori menulis, dan bagaimana merangkai kata yang baik. Ia, akan dengan spontan mengikuti setiap huruf yang diucapkan orang lain (entah ibunya, ayahnya, kakaknya, atau temannya dll). Mereka (termasuk kita) bisa belajar bicara tanpa keterampilan..yang..rumit.Mengalir..apa..adanya.
Sementara menulis, memerlukan keterampilan tambahan. Bahkan motivasi tambahan pula. Karena apa? Karena menulis bukan bakat, karena menulis memang sangat berbeda dengan berbicara. Banyak orang bisa berbicara, bahkan fasih, meski ternyata ia buta huruf. Sementara orang yang bisa menulis, sangat mustahil bila ia penderita buta huruf. Mungkin ini pula yang membedakan kemampuan setiap orang dalam menulis. Intinya, tidak semua orang bisa menulis, meski berbicaranya sangat fasih dan bahkan retorikanya bagus. Meski  bicaranya tidak bagus, tapi minimal ia memang bisa bicara. Bisa berkomunikasi secara verbal (kata-kata)dengan..orang..lain..Benar..tidak?
Jadi menurut saya, orang yang bisa menulis adalah orang yang seharusnya merasa bahagia. Karena bisa melakukan keterampilan yang jarang dilakukan oleh orang yang sehat dan normal lainnya. Umumnya, semua orang yang sehat dan normal bisa berbicara, tapi tak semua dari mereka bisa menulis. Ini pun dikelompokkan jadi dua: pertama, orang yang tidak bisa menulis sama sekali alias buta huruf; dan kedua, orang yang tidak bisa menulis dalam pengertian menyampaikan pesan lewat tulisan. Dari dua kelompok itu, mereka sama-sama bisa berbicara, tapi tidak bisa menulis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar