Sabtu, 12 Mei 2012

Kritik Sastra Nyiak Agus


Nama           : Rara Oktaria Nanda
NPM        : A1A010058
Celoteh untuk Nyiak Agus

Nyiak Agus. Ya, cerpen karya Abdulkadir Linin ini sangat sarat makna bagi saya, karena telah memberi banyak pengajaran hidup. Mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Namun, judul Nyiak Agus bagi saya kurang menarik minat pembaca untuk membaca cerpen yang bagus ini, sangat disayangkan sekali. Nama tokoh utama Nyiak Agus yang dijadikan judul bagi saya sangat terkesan sederhana, sehingga tidak menimbulkan penasaran atau ketertarikan yang mendalam bagi pembacanya. Mungkin judul Nyiak Agus bias diganti dengan “Sujud Terakhir” yang sesuai dengan kisah Nyiak Agus yang meninggal dunia dalam keadaan sujud dalam sholatnya, dan juga judul ini dapat mengunandang ketertarikan pembaca yang ingin mengetahui apa penyebab menjadi terakhirnya sujud tersebut, dan sujud yang dimaksud adalah sujud dalam konteks apa. Mungkin saja pembaca beranggapan dari judul diata bukanlah sujudnya seorang hamba ketika sembahyang menghadap Tuhannya tetapi sujud kepada atasan yang berarti ia melakukan pemberontakan.
            Jika dilihat dari penceritaannya, Abdulkadir Linin sangat mahir mengolah kata sehingga mampu menciptakan imajinasi akan keadaan yang terjadi pada cerita, dibagian awal. Di bagian awal cerita Abdul Lini menceritakan dengan lambat, menceritakan detail-detail suasana dan lakon tokoh. Hal ini tampak pada awal cerpen yang member tahu pembaca bagaiman Nyiak Agus dan bayi yang digendongnya tertawa. “Melihat senyum yang sama pada wajah yang berbeda. Senyum pada wajah keriput yang kenyang dengan asam garam kehidupan, dan senyum pada wajah bayi segar bayi yang beberapa bulan keluar dari kandungan.” Dari serentetan kata-kata yang disusun oleh Abdulkadir Linin ini saya sebagai pembaca langsung tersenyum-senyum sendiri karena saya dapat membayangkan kedua senyum yang dimaksudkan oleh penulis. Ini artinya Abdulkadir Linin telah berhasil menciptakan kata-kata yang mempengaruhi imajinasi poembaca.
            Namun sayangnya Abdulkadir Linin tidak menceritakan dan menggambarkan dengan bahasa seperti di atas pada dua bagian terakhir dari cerpen Nyiak agus ini. Abdulkadir Linin tampak seolah-olah tergesa-gesa menyelesaikan cerpennya. Terlihat pada bagian kedua dari akhir cerpen, Abdulkadir Linin menulisklan banyak kejadian dalam tempo yang berselang cukup lama dalam satu bagian penceritaan saja. Ia menceritakan meninggalnya Nyiak agus dalam sholatnya, proses pemakaman, surau yang berantakan pasca meninggalnya Nyiak agus, perginya tokoh “aku” ke Malaysia, dan lalu kembali lagi ke Indonesia.
            “Subuh esok harinya aku shalat disebelahnya, setelah sujud kedua dirakaat pertama Nyiak Agus tidak bangun lagi. Berangkat ke alam baka. Aku menangis. Aku belum sempat mengganti uangnya.” Dari kalimat pertama bagian kedua dari akhir cerita ini Abdulkadir Linin terlihat seolah-olah tergesa-gesa dalam penceritaannya, seolah ingin cepat-cepat mengakhiri cerpennya. Terlihat pada kalimat “Aku menangis. Aku belum sempat mengganti uangnya.” Kalimat ini terlihat sangat sederhana, padahal Abdulkadir Linin bias saca menggunakan kalimat yang lebih panjang untuk menggambarkan suasana saat itu, bagaimana kegelagapannya ia dengan keadaan saatitu. Dan justru bagi saya, pada bagian inilah Abdulkadir Linin sebagai penulis memiliki kesempatan besar untuk memainkan kata-katanya yang mampu menciptakan imajinasi pembaca sehingga berpengaruh pada emosi. Bisa saja pembaca sedih akan keadaan ini, atau justru bertanya-tanya perihal apakah yang menyebabkan meninggalnya Nyiak Agus.  Selain peristiwa meninggalnya Nyiak agus, kalimat-kalimat selanjutnya sama saja, vterlihat buru-buru. Sangat singkat.
            Selain kelebihan dan kekurangan tulisan karya Abdulkadir Linin ini, saya juga ingin mengulas mengenai banyak pesan agama yang diberikan oleh penulis kepada pembaca melalui dialog-dialognya. Hal ini juga merupakan kelebihan dari Abdul Linin yang mengolah dialog sebagai media penyaluran pesan cerita. Ia tak hanya membuat dialog-dialog kosong yang hanya memanjangkan cerita. Tiap dialognya tak dapat dipisahkan lagi dari cerita karena saling berhubungannya antara dialog dengan cerita.
            “Kalau Inyak susah, biasanya apa yang Inyak lakukan?”
            “mmm… kalau saya susah, mmm biasanya saya berdo’a”
Dari dialog ini terdapat pesan religius yang mengungkapkan bahwa saat kita susah memintalah bantuan kepada Tuhan, karena Tuhan tak pernah lelah mengulurkan tangan-Nya. Tuhanlah yang menjadikan nasib kita susah maka hanya Dia pulalah yang akan menghilangkan kesusahan tersebut. Karena semua nasib datang dari Tuhan.
            “Mau jadi orang senang, ya sulit juga. Yang membuat orang susah biasanya keinginan-keinginan yang tidak tercapai.”
Dari dialog Nyiak agus ini kita dapat menarik kesimpulan jika ingin bahagia maka capailah keinginan-keinginan kita tersebut, dengan usaha dan doa. Jangan biarkan mimpi-mimpi kita berlalu begitu saja.
“Satu hal lagi yang ingin saya sampaikan: islam itu kuncinya iklas. Tanpa iklas, islam itu sama dengan manusia tak bernyawa. Tak ada yang gratis di dunia ini: apapun perbuatan ada imbalannya dari Allah. Perbuatan sebesar zarahpun ada imbalannya…”
Dari sini kita dapat mengambiln pesan dari penulis yang menyampaikan bahwa segala sesuatu yuang dilakukan dengan iklas maka akan mendatangkan kebaikan. Maka jangan pernah melakukan sesuatu dengan gerutu.
            “… teruslah berbuat baik. Jadi orang tetap bekerja dengan pertimbangan buruk atau baik. Bila dianggap baik, kerjakan dengan iklas. Jangan Tanya: apa untungnya!...”
Kalimat singkat ini sangat sarat makna, dan kalimat inilah yang seharusnya kita lingkari untuk dipahami kemudian kita amali dalam kehidupan. Pada dialog Nyiak Agus ini disampaikan pesan bahwa kita harus mengerti mana yang baik mana yang tidak baik dalam kehidupan ini. Lakukanlah yang baik dengan iklas tanpa mengharap imbalan duniawi. Percayakan bahwa Allah  mampu menjadikan kita orang yang senang.

2 komentar:

  1. Nyiak Agus memang benar ada dan memang demikian sehari-hari beliau. Hanya saja beliau tidak meninggal saat sujud.

    Terima kasih sudah mengulasnya,
    Saya anak dari almarhum Abdulkadir Linin. Beliau meninggal Mei 2007 lalu.

    BalasHapus
  2. Saya jd tertarik untuk baca cerpennya, bisakah penulis share ke saya teks cerpennya, krna setelah dicari di google pun, saya belum ketemu cerpennya. Atau penulis punya link agar saya bisa baca cerpennya juga. Terima kasih

    BalasHapus