Sabtu, 12 Mei 2012


Nama   : Rara Oktaria Nanda
NPM   : A1A010058

Laskar Pelangi Bersama Lebih dan Kurangnya

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang sempat menggemparkan dunia sastra Indonesia ini memang sangat menginspirasi. Andrea hirata bercerita apa adanya tentang masa kecilnya yang dikelilingi oleh orang-orang yang menginspirasi.
            Ketika saya membaca lascar pelangi saya sangat tertarik dengan tokoh harun yang digambarkan oleh Andrea Hirata. Dimana tokoh harun ini meski tidak memiliki daya pikir seperti yang dimiliki oleh anak normal seusianya, namun ia tetap bersekolah, belajar layaknya anak normal seperti teman-temannya. Hal ini sangat jarang terjadi dalam kehidupan nyata.
            Tokoh lain yang sangat mencengangkan saya yaitu tokoh Lintang yang merupakan tokoh ciptaan dari Andrea Hirata, meski tokoh ini hanya imajinasi yang diciptakan oleh penulis, namun penulis telah mampu menghipnotis pembaca , memberi motivasi dengan hadirnya tokoh lintang ini,. Lintang yang digambarkan sangat cerdas dan sangat rajin mampu memotivasi pembaca untuk bias menyamai tokoh ini. Ia digambarkan sangat tangguh dengan semangatnya yang tak pernah turun ketika menempuh perjalanan menuju sekolamh yang sangat jauh dengan menggayuh sepeda dengan kakinya yang masih sulit mencapai pedal. Hal ini terlihat pada bagian berikut:
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.
Namun diakhir cerita nasib Lintang tidaklah sebaik teman-temannya. Ia terpaksa berhenti sekolah karena keadaan ekonomi keluarga yang buruk. Hal ini membuat cerita menjadi semakin terasa alami. Di kehidupan nyata tidak jarang anak-anak pintar piutus sekolah hanya karena keadaan ekonomi yangt tidak memungkinkan.  Tak selamanya hal yang kita bayangkan indah berakhir dengan indah. Terkadang takdir menjawab berbeda dari logika.
            Mahar salah satu tokoh dari sepuluh kawan ikal juga sangat mengiunspirasi, dimana ia rela meluangkan waktunya mati-matian demi mempertanggung jawabkan tugas yang telah dipercayakan  kepadanya, yaitu untuk menemukan ide kreatif dalam karnaval sekolah. Dalam bagian ini terlihat perjuangan kerasnya menemukan ide cemerlang dengan cara menyendiri hingga akhirnya memnemukan sesuatu yang sangat menarik. Pada bagian ini juga terlihat kekompakan sepuluh sekawan saat mempersiapkan perlombaan hingga perlombaan berlangsung.

            Selain tokoh harun, mahar, dan lintang, tokoh Flo pun tak kalah mencengangkan. Dimana seorang anak dengan perekonomian berkecukupan lebih memilih bersekolah disekolah Muhamadiyah yang sangat sederhana bahkan kekurangan. Bahkan Flo tetap ingin bertahan disekolah Muhammadiyah meski nilainya turun. Berbeda dengan orang tuanya yang berkeinginan memindahkan kembali Flo ke sekolah PN karena di sekolah PN nilai-nilai Flo dijamin bagus karena sumbangan orang tuanya ke sekolah PN sangat berbalik dengan ibu mus yang tetap objektif memberikan nilai meski ayah Flo telah banyak menyumbangkan alat-alat ke sekolah muhammmadiyah, Flo tetap ingin bersekolah di sekolah muhammadiyah bertahan bersama teman-temannya. Sikap Flo ini sangat jarang terlihat pada anak-anak kenyataannya yang lebih memilih sekolah mewah. Bahkan Flo tak pernah segan membersihkan sekolah Muhammadiyah yang pada malam hari menjadi kandang kambing, menyiram tanaman tanpa disuruh, dan selalu dating ke sekolah lebih dulu.
            Tokoh-tokoh yang saya sebutkan diatas memang menjadi yang istimewa bagi saya namun tokoh lainnya tak kalah hebatnya, terutama kekompakan mereka, dan semangat mereka yang seklalu sama, yangv tak luntur karna rasa malu atau lainnya.
Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.

            Selain para sekawan laskar pelangi yang dapat menginspirasi bagi pelajar Andrea Hirata juga menghadirkan dua tokoh lainnya yang tak kalah hebat, tokoh ini sangat menginspirasi bagi para pendidik. Mereka adalah ibnu Mus dan Pak Harfan.
            Gambaran karakter Bu Mus terlihat jelaas pada kutipan berikut:
N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adinya.
BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya.
“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami.

            Serta nilai edukatif yang terdapat pada sosok pak Harfan jelas tergambarkan pada kutipan berikut:
Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah,R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah bertanya.
K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui katakatanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliaumengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya
            Selain tokoh-tokoh yang menginspirasi Andrea Hirata juga menggunakan bahasa yang sangat indah, bahasa-bahasa yang hanya dapat dikonsumsi orang-orang intelektual. Namun, kelebihan ini sekaligus juga menjadi kekurangan bagi Andrea Hirata, karena menurut saya sebagai pembaca novel fenomenal ini cocok untuk dibaca segala umur terutama pelajar karena mampu menginspirasi dan memotivasi pelajar juntuk lebih giat dan malu jika tak biasa lebih dari tokoh Laskar Pelangi yang tetap semangat belajar dalam ketebatasan mereka. Namun, dengan bahasa yang sulit dicerna bagi anak dibawah umur akhirnya novel lascar pelangi dikategorikan serta dilabelkan sebagai bacaan untuk dewasa pada sampul belakangnya. Padahal novel ini sangat bagus sebagai pendorong pelajar untuk menjadi alat motivasi meski terdapat sedikit bagian percintaan dan kenakalan remaja yang diceritakan oleh penulis.
            Semangat-semangat tokoh dalam novel laskar pelangi ini dapat kita lihat pada kalimat berikut:
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, utnuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.

            Selain kata-kata yang bagi saya sulit dicerna oleh seseorang dengan pengalaman kurang, Andrea Hirata juga terlihat bertele-tele dalam penceritaannya. Ia lebih banyak menggunakan deskripsi yang menggambarkan keadaan suasana atau keadaan alam sekitar dibandingkan dengan menggunakan cara naratif sehingga hal ini sedikit membosankan para pembaca ketika membaca Laskar Pelangi berbeda dengan sang pemimpi yang terasa padat. Namun, kekurangannya ini juga menjadi kelebihannya, karena sedikit banyaknya kata-kata deskripsi yang digunakan Andrea Hirata mampu merangsang pembaca untuk menciptakan imajinasi-imajinasi tetntang suatu keadaan yang digambarkannya. 

1 komentar: