Rabu, 19 Januari 2011

ANTARA BEBAS DAN BATAS

ANTARA BEBAS DAN BATAS
Angin semilir, deruan ombak, tak juga mengurangi terik mentari yang terasa menyengat hingga ubun-ubun ku. Dipayungi mentari yang mulai bersembunyi malu di ufuk barat, aku masih saja terduduk kaku di pinggir pantai.
            Sejenak aku tenggelam dalam fantasiku tentang bebasnya kehidupan di luar sana, dimana remaja seusiaku di sibukkan oleh pacar, gossip, clubbing, dan hal-hal yang mereka agung-agungkan sebagai kebahagian luar biasa.
            Kuputar kembali memoriku, ku riset kembali ingatanku.
“Delapan belas tahun belum punya pacar?? Ayolah galz.. come on….! Sadar dari keterpurukan loe!”
“Jomblo?? Kasian banget sih loe?? Hari gini mana ada jomblo!”
  Kalimat-kalimat yang dulu kuanggap norak dan tak penting itu kini mulai menghantuiku, menggerayangi setiap langkahku.
Kupandangi diriku yang mereka sebut-sebut sebagai seorang yang kurang pergaulan atau kuper. Aku hanya seorang ‘Yudith’, gadis yang serba tertutup, tertutup aurat, bahkan tertutup pergaulan.
Aku merasa terpuruk, aku merasa diasingkan! Mereka mengekangku sejak tsanawiyah hingga aliyah, setiap gerakku dibatasi oleh peraturan-peraturan pondok yang bagiku sangat-sangat tak penting itu.
Tak sedikit teman seangkatanku telah menikah dengan jalan perjodohan orang tua mereka,  aku tak mau bernasib sama.
Seharusnya aku lebih pandai bersyukur karena aku masih berkesempatan untuk kuliah, namun akhir-akhir ini ibuku seakan repot sendiri menjodohkanku dengan anak temannya itu. duniaku saat ini berbeda, ini bukan lagi pondokan Al-hikmah, dimana semua santrinya harus patuh akan semua perintah.
Tiba-tiba, seakan tertumpah dari langit, hujan lebat mengguyurku yang tengah lengah, aku cepat menyorot sekitar wilayah terdekatku, ku temukan pondokan kecil, aku berlari berteduh di bawahnya, sedangkan motorku kubiarkan tetap di bawah pohon semula. Aku bernafas lega.
Langit makin gelap, kulirik ponselku, tak salah lagi dugaanku, aku melenceng jauh dari jadwal pulangku, aku mencoba menunggu hujan reda, namun alhasil, hujanpun makin deras mengguyur se-antero kota.
Jam terus berputar, langit semakin gelap, kutancapkan niatku, kuterobos derasnya hujan.
***
“Jam segini baru pulang?? Kemana saja kamu??” Kemarahan, ocehan, serta tudingan yang aneh-anehpun keluar dari mulut ayah menyambut kepulanganku yang jauh dari waktu seharusnya, diperhatikannya keadaan seluruh tubuhku yang basah kuyup, mata nya merah, penuh dengan api kemarahan, hingga prasangka-prasangka buruk pun timbul dalam otaknya.
Aku menangis, menyesal, berbaur dengan gejolak hatiku yang menentang kemarahannya, seakan amarahku yang terlalu dikekang lebih besar, kubanting tubuhku diatas kasur, sembari menangis.
“Dith…  clubbing yuukkk….” Seakan tersengat listrik, otakku tiba-tiba saja melayang jauh saat kuterima pesan singkat dari Mala. Tanpa pikir-pikir lagi, kuangkat rok panjangku, kuloncati jendela kamarku, aku berlari keseberang jalan menemui Mala.
“Lo? Pake baju ini buat clubbing??” Tanya mala yang tentu saja terheran dengan keadaanku saat itu.  Persis lumba-lumba dalam pertunjukan, aku begitu patuh dengan Mala, akupun melepas jilbab yang telah kupertahankan selama tujuh  tahun, tanpa segan aku memperlihat kan aurat ku. apa ini?? Ini pasti ajakan setan! Aku tahu ini setan..! tapi tak kuasa ku tolak.
***
Hingar bingar tampak jelas disini, lampu yang ramai namun tetap remang-remang, musik yang memekak telinga, orang-orang dengan pakaian setengah jadi mereka! Inilah club! ‘Tuk pertama kalinya aku datang ketempat seperti ini, oh tuhan betapa rendahnya harga diri wanita yang digilakan dengan harta dan napsu mereka!
Aku sadar langkahku salah, aku salah aku tengah mengikuti jalan setan, namun seakan otakku telah beku karena ocehan ayah yang takhenti.
“Jangan diem donk dith! Ayo joget!” Pekik mala dari kerumunan orang-orang tak punya sopan itu, aku pun hanya terheran-heran menyaksikan lakon Mala yang hanya diam saat beberapa orang kuanggap melecehkannya.
Aku mendadak lesu, merenungi keputusanku yang tak benar ini, ku tutup dadaku yang terbuka lebar hingga membelalakkan mata para lelaki.
“Allahu ma’i, Allahu nadhiri, Allahu syahidi….” Berkali kali ku ucapkan kalimat itu dengan mata terpejam, berharap aku segera sadar bahwa Allah mengawasiku, Allah menyaksikan tiap lakonku.
“Hai..!” Tiba-tiba saja sesosok lelaki asing menoel bahuku dengan sikutnya, sakit rasanya! Ia datang dengan dua gelas ditangannya, aku tahu ia akan menawariku segelas minuman haram itu.
Aku berusaha keras menolakknya hingga Mala datang membujukku dengan segala iming-iming darinya.
Dengan keimanan yang begitu tipis akhirnya minuman itu berhasil menyentuh bibirku, mengalir ditenggorokanku, dan bermuara di lambungku.
Kurasa Mala salah akan penilaiannya terhadap minuman ini, tak sedikitpun aku merasa nikmatnya, minuman ini seakan menguras tenaga otakku, memutar-mutar lambungku melebihi kapasitas normal, mual! Itu yang kurasakan! Dalam singkat waktu, kabur penglihatanku, ingatankupun terhenti sebatas itu saja.
***
Mataku masih saja terasa berat, kubelalakkan mataku, namun yang kudapati sangat-sangatlah asing!
“Astafirullah..!!” Darahku tiba-tiba berdesir kencang saat mendapati tubuhku tanpa busana, dan sesosok laki-laki tak kukenal terbaring disampingku, apa ini?? Air mataku sontak berjatuhan.
“Ya Allah, ampuni hamba…!! Hamba menyia-nyikan perhatian orang tua hamba!” Emosi ku naik, amarahku memuncak tak terbatas, aku geram.
Mataku tertuju pada pisau buah yang tak jauh dariku, kemaran muncul dalam diriku. “Inilah orang perusak hidupku!” diluar kontrolku, kugapai pisau itu, yang kuanggap dapat menolongku dari keadaan ini, sementara setan tertawa lebar dengan apa yang aku lakukaan, mereka menari diatas kehancuranku, percuma kusimpan kecantikanku selama ini, dan akhirnya harus berakhir di kamar laknat ini.
Kupandang wajah yang nyaris tanpa dosa, tapi memuakkan. Kuangkat kedua tanganku, erat kupegang pisau itu, lalu tepat di jantungnya ku singgahkan pisau itu. Teriakan dan rintihannya menyadarkan bahwa aku telah menjadi seorang pembunuh. Tangannya menggapai-gapai minta pertolongan padaku, suaraku seakan hilang bersama ketakutanku. Tapi, hatiku telah beku, aku saksikan ia meregang  nyawa dengan perasaan tak bersalah, aku kehilangan akal sehatku.
Aku tak mau di cap sebagai penganut sex bebas, aku tak ingin hidupku hancur, lebur sudah cita-citaku, hangus bersama asa yang tak terhindari.
Tubuhku semakin dingin saat kutatap wajah lelaki biadap itu yang mengakhiri hidupnya dengan mata terpelotot.
Aku lemas, darahku berhenti mengalir, sontak wajahku pucat.
Terduduk kaku aku di sebelah mayat itu.
 “Asstarfirullah haladzim.” Berkali aku memohon ampunan.
            Di ruang ini, di kamar ini aku mengakhiri semua mimpiku yang telah kurancang sebaik mungkin, sia-sia sudah segala prestasiku, saat ini aku hanya wanita penuh dosa, yang siap menerima kutukan tuhan. Hukum pun telah menantiku diluar sana.
            Tak kan lama aku bertahan dalam diam dan seribu penyesalan di kamar laknat ini! Orang akan mengetahui keberadanku, dan aku takkan lari dari semua ini!
***
            Makin gusar aku, saat mendengar sirine mobil polisi makin mendekat, pelayan hotel yang menyaksikan kejadian ini segera menghampiriku. Dengan beringas matanya menatapku, beberapa orang berseragam polisi memenuhi kamar, salah seorang diantaranya memegang kedua tanganku memasang gelang besi yang memborgolku. Tak selayaknya aku bangga dihadiahi borgol ini. Jika saja, aku tak membangkang, mungkin nantinya aku akan menerima hadiah yang lebih baik, cincin dari seorang laki-laki yang akan segera melamarku dari perjodohan yang direncanakan oleh ibu. tapi, siapa yang ingin melirikku saat ini?? Aku penuh dosa..!!!
            Aku hanya bisa bungkam, dengan reaksi teranehku sepanjang hidup. Aku berdiri lesu menyaksikan para aparat mengurusi TKP dan jenazah lelaki yang tak ku kenal itu. Garis polisipun segera mereka pasang, dan kemudian menggeretku tanpa hormat ke mobil mereka.
***
            Aku sadar, kebebasan bisa membuatku terkurung. Keterbatasan itulah jalanku sebelumnya pastilah lebih baik, peraturan-peraturan yang mereka buatpun demi kebaikannku, tak sepantasnya aku membenci itu.
            Aku tertunduk lesu di sudut ruangan yang dingin dan bau, kupeluk kedua kakiku, mencoba menghangatkan tubuh. Mataku menerawang menatap dinding jeruji besi dihadapanku dengan penuh penyesalan.
            Satu-satu peraturan dari ayah, di sekolah, kampus datang bermunculan dibenakku. Belum seberapa dibandingkan peraturan-peraturan yang kujalani sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar