Rabu, 19 Januari 2011

kias/cerpen

JUZT LUPH
Hanya Karena Cinta Aku Akan Memilihmu

            Malam kian larut, mendadak aku terkena insomnia syndrome, ya aku rasa begitu! Aku dibingungkan dengan pilihan yang bagiku sangat rumit untuk diputuskan.
            “Dewi” Samar kudengar suara ibu yang datang bersama kursi rodanya.
            “Ibu? Ibu, belum tidur?” Aku menatap wajah ibu yang sejuk dan damai, ya tuhan orang inilah yang membawaku kedunia, aku mencintainya dengan segala kekurangannya.
            “Kamu juga kenapa belum tidur sayang?” Tanya ibu, yang tak kusadari telah memperhatikan lakonku sejak tadi.
            “Bu…” aku mencoba merangkai kata yang sangat sulit terlontarkan oleh bibirku.
Aku berpikir sejenak, kutatap mata ibu yang berlimpah kasih sayang.
            “Bu, kenapa dulu ibu memilih ayah?” Ibu terdiam mendengar pertanyaanku, aku pun turut terdiam, salahkah ucapanku? Ya Allah, maafkan aku jika ucapanku telah membuat ibu kembali terluka mengingat kepergian ayah tahun lalu.
            “Sayang, kenapa kamu bertanya begitu?” Aku tersenyum, karena ibu mau mendengarkanku.
            “Bu, ada dua orang yang menyukai Dewi di kampus, keduanya sangat berbeda, namun Dewi tetap bingung harus memilih siapa, meski teman teman Dewi telah menyarankan agar Dewi memilih Rafi.” Jelasku yang mulai lancar dengan pembahasan yang telah lama ingin ku lontarkan.
            “Sayang, ikuti hati mu, siapa yang benar-benar kamu anggap terbaik dialah yang pantas mendapatkan mu, bukan dari meteri ataupun fisik!” Kalimat yang subbhanallah begitu bijak  keluar dari bibir ibu.
            “Sampai sekarangpun ibu tak pernah tahu kenapa ibu memilih ayahmu, tapi ibu merasa cintanya luar biasa, hanya ibu yang bisa merasakannya, bahkan untuk meyakinkan kakek, nenekmu terasa begitu sulit!” Aku memperhatikan baik rona wajah ibu dengan kecantikannya yang mulai memudar terbawa usia.
            “Namun, hari itu! Saat engkau lahir kedunia, semua bukti terungkap, betapa besarnya cinta ayahmu kepada ibu!” Mata ibu berkaca, dengan air mata yang terbendung oleh kelopak mata yang kian keriput.
            “Kau lahir jauh dari perkiraan sayang! Saat kandungan ibu berusia sepuluh bulan, kau tak juga menamppakan tanda tanda akan lahir, dokter mengatakan bahwa plasenta ibu sudah berbintik, sudah tua dan harus segera dikeluarkan. Berbagai obat perangsang dimasukkan oleh dokter, hingga rasa sakit yang teramat hebat ibu rasakan, saat itu,, tak sekejapun ayahmu melepaskan genggamannya, hingga kekuatan akan kelahiranmu begitu besar, itulah kekuatan cinta sayang!” Air  matakupun tertetes membayangkan betapa sakitnya ibu demi aku.
            “Saat dokter memutuskan agar ibu dioperasi cesar, saat itu ibu dapat melihat betapa besar rasa kekhawatiran ayahmu, sebelum semuanya berubah kelam, dan kesadaran ibu terombang ambing entah kemana. Setelah itu selama sebulan lebih ibu tak pernah mengetahui keadaan dunia, ibu hanya mendengar ceritanya dari nenekmu. Selama itu, ayahmu tak pernah beranjak dari sisi tempat tidur rumah sakit. Hanya saat sholat ia meninggalkan ibu sebentar untuk berwudhu, lalu kemudian sholat disamping tempat tidur. Untungnya kantor ayahmu, mengizinkan ia untuk berhenti bekerja selama ibu koma         Ayahmu harus membagi waktu dimana ia harus menjaga ibu dan merawatmu sayang! Kakek dan nenekmu sesekali turut membantu, dan disanalah sedikit demi sedikit kebencian mereka terhadap ayahmu memudar, awalnya mereka selalu saja mengucilkan ayahmu yang serba biasa itu.
            Quran kecil yang selalu dibawa oleh ayahmu pun tak henti-hentinya ia bacakan dekat telinga ibu. Sesekali ia bercakap mesra oleh ibu, “bangun, cinta!” kata kata itu diucapkannya berkali kali sambil mencium kening ibu. Genggamanya yang menggenggam erat tangan ibu pun tak pernah ia lepaskan. Malam malam penantian dilewatkan ayahmu dalam sujud dan permohonan. Asalkan ibu kembali sadar, yang lain tak jadi masalah.
            Ibu telah tidur terlalu lama, dihari ke tiga puluh tujuh, semua doa ayahmu terjawab, saat itu, pertama kali ibu membuka mata kembali, wajah penat ayahmulah yang ibu lihat, seakan telah begitu lama. Ayahmu menangis, menggenggam tangan ibu dan mendekap ibu kedada ibu, berulang ulang mengucapkan kalimat syukur dengan air mata yang meleleh. “Asalkan ibu sadar, yang lain tak penting lagi!” Kata-kata itu dibuktikan oleh ayahmu beratus kali dalam doa.
            Ia menyuapi ibu, memandikan, dan memakaikan ibu pakaian, setiap sore sepulang dari kantor ayahmu buru-buru menuju rumah dan menggendong ibu keteras, menyaksikan senja yang beranjak datang, sambil memangku ibu, kata kata mesranyapun selalu keluar dari bibirnya, persis remaja saat berumur belasan.
            Saat itu lah sayang, bisik bisik tentang ayahmu yang berpenampilan sederhana, penghasilan sederhana, dan segala yang mereka anggap sederhana mulai menghilang, kata kata yang dulu mengatakan bahwa ayahmu sangat beruntung mendapatkan ibu yang sangat cantik dan sukses kini berbalik, ibulah yang beruntung memiliki cinta sebesar cinta ayahmu, bahkan ia tak pernah mencari pengganti ibu meski ibu telah cacat, segala kesuksesan ibu yang dibanggakan oleh kakek dan nenekmu pun terbawa pergi oleh takdir, dan ayahmulah yang membawa kita pada kebahagiaan ini sayang, bukan ibu!” Ibu menangis, akupun memeluknya mencoba menyenderkan kepala ibu kekepala ku.
            “Ibu, cinta Dewipun sama halnya dengan cinta ayah kepada ibu, Dewi berjanji tak akan mengecewakan ibu, seperti ayah yang selalu membawa kebahagian dalam hidup ibu.” Ujarku berlinang air mata.
            Kesimpulan yang sangat berartipun aku dapat dari cerita ibu, aku akan mencari sesosok ayah dari mereka! Aku akan mencari cinta dalam diri mereka, bukan karena fisik atau kekayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar